Bismillah.
Sebelum lebih banyak menulis, kami ingin sedikit bercerita tentang keadaan anak-anak kaum muslimin yang pernah kami saksikan dan alami. Semoga dengan kilasan cerita ini memberikan gambaran kepada kita tentang pentingnya untuk kembali mengoreksi diri…
Saudaraku, kaum muslimin yang dirahmati Allah… hidup di tengah masyarakat muslim merupakan nikmat besar yang Allah berikan kepada kita. Di negeri ini, kita bisa menemukan masjid dan masyarakat muslim di berbagai daerah baik dari kampung maupun kota. Sekolah-sekolah dengan label Islam pun banyak kita jumpai. Penulis sendiri juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu sekolah Islam tingkat dasar tidak jauh dari kampung kami.
Daerah dimana kami tinggal yaitu Yogyakarta tentu bukan nama yang asing lagi. Kota Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar. Budaya belajar ini pun meluas bukan hanya di kota tetapi juga di desa-desa. Di masa kami kecil tentu belum ada perkembangan teknologi sepesat sekarang ini. Transportasi dulu masih sederhana, banyak orang yang menggunakan sepeda karena kendaraan bermotor masih sangat jarang yang punya. Untuk bepergian orang biasa menaiki bus atau angkutan pedesaan,sehingga untuk bisa sampai ke sekolah memakan waktu sekitar 1 jam.
Apa yang kami saksikan diantara teman dan saudara-saudara kami kaum muslimin, mungkin tidak jauh beda dengan apa yang disaksikan oleh orang-orang yang hidup semasa dengan kami ketika kecilnya. Karena kami lulus SMA pun baru tahun 2.000. Ada banyak hal berubah yang bisa kami jumpai dengan adanya berbagai bentuk kecanggihan teknologi informasi dan transportasi. Apabila dahulu tukang ojek bekerja tanpa jaringan internet, kini sudah ada aplikasinya di hape. Tentu bukan perubahan yang sepele. Ada sekian banyak perkembangan yang mau tidak mau membuat kita harus berpikir kembali mengenai hakikat tujuan terkait sarana atau nikmat yang Allah berikan kepada kita berupa teknologi dan alat-alat telekomunikasi.
Saatnya Muhasabah
Ketika pandemi itu datang di akhir tahun 2019 hingga saat ini (pertengahan 2021), maka barangkali ini waktu yang tepat untuk kita kembali mengintrospeksi diri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para ulama, bahwa orang yang paling bodoh ialah yang tidak menyadari aib dan kesalahan dirinya sendiri. Karena itu sebagian salaf berkata, “Orang yang berakal itu mengenali hakikat dirinya dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk akan dirinya yang sebenarnya.”
Dulu, apa yang kami kenal tentang Islam mungkin terdengar sedikit lucu, tapi itulah kenyataan dan pemahaman yang sempat kami dapatkan. Bahwa islam itu adalah singkatan dari isyak, subuh, luhur (dzhuhur maksudnya), ashar,dan maghrib. Sehingga islam itu identik dengan sholat. Tentu dari satu sisi ini tidak bisa disalahkan. Akan tetapi dari tinjauan yang lebih luas kita akan melihat bahwa ada kekeliruan pemahaman yang berkembang. Masyarakat menilai bagian islam yang paling utama adalah sholat. Mereka banyak melupakan dan meremehkan masalah aqidah atau tauhid. Karena dianggap masalah tauhid itu sudah cukup dengan ucapan dua kalimat syahadat. Suka atau tidak suka itulah kenyataan yang kami temui semasa kami kecil, bahkan saat ini orang yang mempunyai anggapan semacam itu tidak sedikit. Padahal perkembangan teknologi sudah sedemikian pesat.
Seiring berjalannya waktu, pada masa sekolah menengah atas kami mulai berjumpa dengan teman-teman yang punya semangat untuk belajar Islam lebih dalam. Mereka adalah para remaja dan anak muda yang penuh dengan semangat dan cita-cita. Namun, sayangnya dalam kaitan muamalah atau adab dalam menasihati ternyata banyak hal yang perlu diluruskan. Ini semua kembali kepada faktor usia muda dan keterbatasan ilmu yang mereka peroleh. Hal ini pun justru mendorong kami -dengan taufik dari Allah- untuk ikut belajar Islam bersama mereka. Dari sana lah kami mulai mengenal tentang pentingnya tauhid dan aqidah.
Saya masih ingat, ketika itu masih kelas 3 SMA dan ada kajian di dekat sekolah kami di sebuah kampus islam cukup ternama yang diasuh oleh para ustadz yang mendakwahkan sunnah/pemahaman nabi dan para sahabat. Panitia kajiannya adalah para mahasiswa di kampus tersebut yang notabene secara usia dan wawasan lebih tinggi daripada anak-anak SMA. Meskipun demikian, di kemudian hari problema perselisihan diantara pegiat dakwah pun berimbas terhadap perkembangan dakwah di kampus ini. Suatu hal yang cukup disesalkan. Karena dakwah yang mulia ini harus terganjal akibat kericuhan dan pertengkaran yang tidak pada tempatnya. Sejarah kelam yang pernah disaksikan oleh mereka yang sudah mengenal dakwah salaf ini di era 90-an hingga tahun 2000-an. Dan sisa-sisa atau luka dari pertikaian itu masih tersisa di medan dakwah sunnah di bumi nusantara ini… laa haula wa laa quwwata illa billaah…
Berkenalan dengan Laskar Jihad
Sedikit banyak kami berkenalan atau minimal pernah ikut menghadiri kajian-kajian ilmiah yang diadakan oleh sebuah komunitas dakwah yang cukup masyhur di kala itu, yaitu Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah bersama panglimanya Ust. Ja’far Umar Thalib rahimahullah. Pada saat tabligh akbar deklarasi laskar jihad di sebuah gedung olah raga di Kota Baru -yang notabene tidak jauh dari komplek gereja yang cukup besar- kami ikut hadir bersama teman sesama alumni SMA. Itu terjadi ketika kami belum masuk bangku kuliah, masih dalam proses menuju kesana setelah lulus SMA.
Dan dengan takdir Allah, setelah kulilah di awal-awal kami juga sempat hadir kajian-kajian di Masjid al-Hasanah Terban yang diasuh para asatidz Laskar Jihad, diantaranya ketika itu Ust. Muhammad Umar as-Sewed waffaqahullah. Pada saat itu beliau masih menjabat sebagai wakil panglima laskar jihad. Sedikit banyak konflik Ambon kami ketahui dan terjadilah peristiwa yang cukup mengagetkan ketika laskar jihad berdemo di Monas dengan membawa pedang. Sebuah kejadian sejarah yang sulit untuk dilupakan dan diberitakan oleh media..
Dengan taufik dari Allah pula kami mulai mengenal kajian-kajian sunnah yang diasuh oleh para ustadz di sekitar daerah Pogung (kawasan utara Kampus UGM). Meskipun pada awalnya kami masih ikut kajian bersama asatidz tarbiyah di Masjid Mardhiyyah selatan RS. Sarjito, terlebih lagi sudah dimaklumi bahwa kampus kami di Biologi atau MIPA UGM dikenal sebagai basisnya kader partai tertentu yang berafiliasi kepada jama’ah Ikhwanul Muslimin. Sebuah gerakan yang sudah dikenal sepak terjangnya dalam pentas politik nasional. Akan tetapi dengan taufik dari Allah pula kami lebih cenderung untuk belajar dan mengikuti kajian-kajian dengan asatidz Ahlus Sunnah. Walaupun pada perjalanannya kami sempat diboikot/tidak diajak bicara oleh sebagian teman yang ngaji di asatidz laskar jihad karena kami dianggap pengikut dakwah yang menyimpang. Tentu saja sebabnya sudah dimaklumi seputar masalah tertentu yang diributkan kala itu.
Apa yang kami ceritakan di sini tentu mengandung maksud untuk memberikan gambaran kepada adik-adik kami yang mungkin mengenal sunnah pada waktu masa kuliah atau sekolah di masa sekarang ini. Bahwa pada masa sekarang sarana dan media untuk belajar islam sudah sangat banyak dan begitu mudah diperoleh. Tidak seperti dulu dimana untuk belajar nahwu atau sorof saja para mahasiswa harus datang ke pondok dan mencari pengajar yang bisa membimbingnya. Walhamdulillah sekarang ini kami dapati majelis untuk belajar bahasa arab sudah banyak, bahkan sudah berkembang dalam bentuk pembelajaran online terutama di musim pandemi seperti sekarang ini. Yang jelas ini semua adalah nikmat yang harus kita akui dan kita syukuri.
Bertemu Pegiat Dakwah Mahasiswa
Seiring berjalannya waktu Allah pertemukan kami dengan para senior penggerak dakwah mahasiswa di sekitar Kampus UGM seperti Ust. FIranda, Ust. Fauzan, Ust. Eko Haryono, dkk begitu juga para ustadz ketika itu seperti Ust. Abu Ali, Ust. Abu Sa’ad, Ust. Abu Isa, dsb. Sebagian asatidz juga alhamdulillah sudah kami ikuti kajiannya di akhir-akhir masa SMA. Kemudian tercetuslah program belajar yang diberinama Ma’had al-’Ilmi begitu pula kajian bahasa arab yang disebut dengan BADAR (Bahasa arab dasar) yang disajikan dalam bentuk daurah/kajian intensif liburan. Dari sana lah kami mulai mengenal dasar-dasar agama Islam. Sesuatu yang mungkin sebelumnya hanya kami dapatkan secara sekilas atau kurang terperinci. Sebagai mahasiswa tentu kesempatan belajar agama ini menjadi nikmat yang luar biasa.
Singkat cerita, kegiatan dakwah mahasiswa yang ada semakin berkembang dan terbentuklah sebuah organisasi dakwah bernama Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary yang kemudian berubah menjadi Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari. Mungkin itu dulu sedikit cerita yang bisa kami tuliskan dalam kesempatan ini. Semoga bisa memotivasi dan menjadi pengingat bagi diri kami pribadi dan teman-teman semuanya. Apabila ada kelapangan insya Allah kami lanjutkan pada waktu yang akan datang. Karena ada teman yang meminta maka tulisan ini pun kami susun seadanya. Semampu kami nggih. Tiada gading yang tak retak. Wallahu a’lam bish shawaab.
Penulis : Ari Wahyudi S.Si. Hafizhahullah (Ketua Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari)